- Perbedaan Kepentingan
Hampir setiap hari kita saksikan di media terjadinya kekerasan di masyarakat. Terjadi konflik perbatasan antar Desa Adat seperti yang kita saksikan akhir-akhir ini di Bali, sebagai salah satu persoalan yang memasuki ruang penyelesaian secara demokratis, adil dan berkemanusiaan dengan cara pandang Agama dan budaya Bali.
Beragam pertanyaan, refleksi, dan penggugatan diri muncul. Di antaranya pertanyaan, bukankah salah satu peran dan amanat demokrasi justru agar persoalan dan perbedaan pendapat serta kepentingan tidak diselesaikan dengan kekerasan, tetapi secara damai?
Kita pun segera membela diri. Barangkali kekerasan yang timbul dari perbedaan kepentingan dan pendapat maupun dari beragam persoalan hidup muncul karena demokrasi kita masih dalam masa transisi dan pembelajaran. Meskipun pertimbangan itu benar, kita toh tetap bertanya dan menggugat diri. Maksudnya agar jangan keterusan. Tujuannya juga agar kita sadar perihal persoalan yang kita hadapi.
Kita pun ingin mengingatkan diri kita, terutama para pemimpin formal maupun informal, agar memahami dan menyadari perubahan-perubahan yang sedang kita hadapi, termasuk perubahan sistem, sikap, nilai, dan budaya sosial politik dari otokrasi ke demokrasi. Memang salah satu unsur substantif serta mendasar bagi demokrasi ialah kebebasan. Kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan membela kepentingan serta hak-hak, bahkan juga kebebasan yang diekspresikan lewat protes serta demo. Tetapi, justru karena semua itu, justru karena ada kebebasan itu, tujuannya agar perbedaan pendapat serta perbedaan kepentingan disikapi serta diselesaikan secara damai lewat hukum maupun lewat dialog dan musyawarah.
Apalagi dalam masa transisi pembangunan demokrasi, mungkin saja pemahaman kita tidak komprehensif. Misalnya diambil kebebasannya tanpa memahami, menyadari, dan mempraktikkan bahwa kebebasan itu justru berperan agar segala sesuatu diselesaikan dan dihadapi secara damai dan secara hukum. Dialog bahkan musyawarah tetap berperan. Mungkin tidaklah populer jika dewasa ini kita mengingatkan, meskipun demokrasi memiliki nilai-nilai universal, dalam pelaksanaannya tidaklah mungkin mengabaikan sama sekali nilai budaya lokal, terutama nilai budaya lokal yang tidak bertentangan dengan demokrasi, melainkan merupakan konteks dalam mengakarkan serta memasyarakatkan faham demokrasi itu.
Orang Jerman bilang Fourschung und Lehre, memahami secara teori serta mempraktikkannya. Barangkali pendekatan itu relevan dalam melaksanakan komitmen kita menyelenggarakan serta melaksanakan perikehidupan bersama yang demokratis. Praktek menyama braya semakin kehilangan ruangnya dalam pergaulan kita sehari-hari dan masihkah kita bisa berbangga seperti dulu bahwa masyarakat Bali adalah masyarakat yang santun, ramah tamah, penuh senyum ?
Beragam pertanyaan, refleksi, dan penggugatan diri muncul. Di antaranya pertanyaan, bukankah salah satu peran dan amanat demokrasi justru agar persoalan dan perbedaan pendapat serta kepentingan tidak diselesaikan dengan kekerasan, tetapi secara damai?
Kita pun segera membela diri. Barangkali kekerasan yang timbul dari perbedaan kepentingan dan pendapat maupun dari beragam persoalan hidup muncul karena demokrasi kita masih dalam masa transisi dan pembelajaran. Meskipun pertimbangan itu benar, kita toh tetap bertanya dan menggugat diri. Maksudnya agar jangan keterusan. Tujuannya juga agar kita sadar perihal persoalan yang kita hadapi.
Kita pun ingin mengingatkan diri kita, terutama para pemimpin formal maupun informal, agar memahami dan menyadari perubahan-perubahan yang sedang kita hadapi, termasuk perubahan sistem, sikap, nilai, dan budaya sosial politik dari otokrasi ke demokrasi. Memang salah satu unsur substantif serta mendasar bagi demokrasi ialah kebebasan. Kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan membela kepentingan serta hak-hak, bahkan juga kebebasan yang diekspresikan lewat protes serta demo. Tetapi, justru karena semua itu, justru karena ada kebebasan itu, tujuannya agar perbedaan pendapat serta perbedaan kepentingan disikapi serta diselesaikan secara damai lewat hukum maupun lewat dialog dan musyawarah.
Apalagi dalam masa transisi pembangunan demokrasi, mungkin saja pemahaman kita tidak komprehensif. Misalnya diambil kebebasannya tanpa memahami, menyadari, dan mempraktikkan bahwa kebebasan itu justru berperan agar segala sesuatu diselesaikan dan dihadapi secara damai dan secara hukum. Dialog bahkan musyawarah tetap berperan. Mungkin tidaklah populer jika dewasa ini kita mengingatkan, meskipun demokrasi memiliki nilai-nilai universal, dalam pelaksanaannya tidaklah mungkin mengabaikan sama sekali nilai budaya lokal, terutama nilai budaya lokal yang tidak bertentangan dengan demokrasi, melainkan merupakan konteks dalam mengakarkan serta memasyarakatkan faham demokrasi itu.
Orang Jerman bilang Fourschung und Lehre, memahami secara teori serta mempraktikkannya. Barangkali pendekatan itu relevan dalam melaksanakan komitmen kita menyelenggarakan serta melaksanakan perikehidupan bersama yang demokratis. Praktek menyama braya semakin kehilangan ruangnya dalam pergaulan kita sehari-hari dan masihkah kita bisa berbangga seperti dulu bahwa masyarakat Bali adalah masyarakat yang santun, ramah tamah, penuh senyum ?
- Diskriminasi Dan Etnosentrisme
Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan yang lain.
Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan diskriminasi
Diskriminasi langsung, terjadi saat hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang sama.
Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat diterapkan di lapangan.
Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan diskriminasi
Diskriminasi langsung, terjadi saat hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang sama.
Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat diterapkan di lapangan.
Terdapat 2 jenis etnosentris yaitu:
Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan diskriminasi
Diskriminasi langsung, terjadi saat hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang sama.
Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat diterapkan di lapangan.
Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan diskriminasi
Diskriminasi langsung, terjadi saat hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang sama.
Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat diterapkan di lapangan.
Terdapat 2 jenis etnosentris yaitu:
- Etnosentris infleksibel yakni suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya atau tingkah laku orang lain,
- Etnosentris fleksibel yakni suatu sikap yang cenderung menilai tingkah laku orang lain tidak hanya berdasarkan sudut pandang budaya sendiri tetapi juga sudut pandang budaya lain. tidak selamanya primordial merupakan tindakan salah. akan tetapi bisa disaja dinilai sebagai sesuatu yang mesti dipertahankan. dalam sudut pandang ajaran (ritual) misalnya. prilaku primordialisne merupakan unsur terpenting, saat memberlakukan ajaran intinya.
Study Kasus :
Kasus Soeharto Contoh Nyata Diskriminasi Hukum
Politisasi kasus Soeharto yang telah terjadi selama hampir 10 tahun ini contoh adanya diskriminasi hukum. Status hukum mantan penguasa Orde Baru itu berada dalam kondisi status quo.
"Secara pidana status quo, status hukum Pak Harto itu tidak selesai," kata pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta Denny Indrayana di kampus UGM Bulaksumur Yogyakarta, Selasa (8/1/2008).
Menurut Denny, kasus Soeharto simbol paling kuat dari diskriminasi hukum Kasusnya dibiarkan mengambang tanpa ada penuntasan sejak 10 tahun terakhir ini.
"Ini juga jadi contoh nyata bahwa hukum sulit ditegakkan bila sudah menyentuh elit. Mereka ternyata memiliki kekuatan politik," tegas staf pengajar Fakultas Hukum UGM itu.
Denny mengatakan kondisi Soeharto yang sakit memang menyulitkan proses hukum untuk kasus pidana. Sementara untuk kasus perdata jika diputus bersalah maka semua ahli waris harus mempertanggungjawabkan.
"Secara pidana sulit dibuka, karena sakitnya. Perdata ada peluang untuk melihat beliau bersalah atau tidak. Kalau diputus bersalah semua ahli waris harus ikut bertanggungjawab," katanya.
Oleh karena itu lanjut Deny, salah satu kunci penyelesaian kasus Soeharto adalah pada hasil sidang perdata Soeharto yang mulai dibuka saat ini. "Jika
hasil persidangan menyatakan Soeharto bersalah dapat menjadi pintu pembuka kasus-kasus lain yang selama ini tertuju padanya," tegas dia.
Denny menambahkan, menghilangkan atau menghukum dan tidak menghukum itu tidak bisa dilakukan saat ini. Termasuk permintaan deponering oleh Partai Golkar untuk kasus Soeharto dengan alasan atas nama kepentingan umum.
"Kalau ada yang mendeponering atas nama kepentingan umum kasus Soeharto, itu dilakukan untuk apa? Memberi pengampunan untuk apa?" kata Denny.
Denny juga tidak setuju jika deponering dilakukan, meski Mahkamah Agung bisa melakukan dengan kewenangan yang dimiliki. "Bila Presiden SBY mau mengeluarkan amnesti juga bisa. Tapi mana bisa, Soeharto itu belum dinyatakan bersalah di depan hukum, baik untuk kasus perdata maupun kasus pidananya," pungkas Denny
"Secara pidana status quo, status hukum Pak Harto itu tidak selesai," kata pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta Denny Indrayana di kampus UGM Bulaksumur Yogyakarta, Selasa (8/1/2008).
Menurut Denny, kasus Soeharto simbol paling kuat dari diskriminasi hukum Kasusnya dibiarkan mengambang tanpa ada penuntasan sejak 10 tahun terakhir ini.
"Ini juga jadi contoh nyata bahwa hukum sulit ditegakkan bila sudah menyentuh elit. Mereka ternyata memiliki kekuatan politik," tegas staf pengajar Fakultas Hukum UGM itu.
Denny mengatakan kondisi Soeharto yang sakit memang menyulitkan proses hukum untuk kasus pidana. Sementara untuk kasus perdata jika diputus bersalah maka semua ahli waris harus mempertanggungjawabkan.
"Secara pidana sulit dibuka, karena sakitnya. Perdata ada peluang untuk melihat beliau bersalah atau tidak. Kalau diputus bersalah semua ahli waris harus ikut bertanggungjawab," katanya.
Oleh karena itu lanjut Deny, salah satu kunci penyelesaian kasus Soeharto adalah pada hasil sidang perdata Soeharto yang mulai dibuka saat ini. "Jika
hasil persidangan menyatakan Soeharto bersalah dapat menjadi pintu pembuka kasus-kasus lain yang selama ini tertuju padanya," tegas dia.
Denny menambahkan, menghilangkan atau menghukum dan tidak menghukum itu tidak bisa dilakukan saat ini. Termasuk permintaan deponering oleh Partai Golkar untuk kasus Soeharto dengan alasan atas nama kepentingan umum.
"Kalau ada yang mendeponering atas nama kepentingan umum kasus Soeharto, itu dilakukan untuk apa? Memberi pengampunan untuk apa?" kata Denny.
Denny juga tidak setuju jika deponering dilakukan, meski Mahkamah Agung bisa melakukan dengan kewenangan yang dimiliki. "Bila Presiden SBY mau mengeluarkan amnesti juga bisa. Tapi mana bisa, Soeharto itu belum dinyatakan bersalah di depan hukum, baik untuk kasus perdata maupun kasus pidananya," pungkas Denny
Opini :
Menurut saya hal seperti ini harus segera ditindak oleh pemerintah agar tidak menimbulkan korban lebih banyak lagi, kita juga sebagai mahasiswa dapat mencegah hal tersebut dengan tidak melakukannya karena semua itu sangat merugikan.
(Sumber :
1. Ilmu Sosial Dasar Oleh: Harwantiyoko, Neltje F. Katuuk Penerbit Gunadarma
0 Response to "PRASANGKA, DISKRIMINASI, DAN ETNOSENTRISME"
Post a Comment